Liputanbanten.com//Jakarta, – Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Badan Riset dan Inkvasi Mathla’ul Anwar (BRIMA), Univeristas Mathla’ul Anwar dan Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) menggelar webinar bertajuk “Menyoal Efektivitas Satgas Anti Premanisme dan Ormas Bermasalah”, Jumat (27/6), melalui zoom meeting.
Acara yang dipandu Peneliti BRIMA Ratnasari ini menghadirkan pembicara kunci, yaitu Budi Arwan (Direktur Organisasi Kemasyarakatan, Ditjen Polpum Kemendagri). Hadir sebagai narasumber, antara lain Andi Syafrani (Presiden LIRA), Muhamad Isnur (Ketua YLBHI), Dr. H. Ali Nurdin (Wakil Rektor I Universitas Mathla’ul Anwar), serta Asep Rohmatullah (Direktur BRIMA). Para narasumber tampil menonjol dengan gagasan kritisnya.
*Dekonstruksi Premanisme, Rehabilitasi Peran Ormas*
Dalam paparannya, Andi Syafrani menyerukan agar negara berhenti menyamakan tindakan premanisme dengan identitas organisasi kemasyarakatan (ormas). Menurutnya, premanisme adalah tindakan menyimpang yang bisa dilakukan siapa saja, bukan label tetap yang layak disematkan ke seluruh ormas.
“Premanisme adalah tindakan, bukan identitas. Tidak semua kekerasan lahir dari ormas, dan tidak semua ormas menyemai kekerasan,” tegasnya.
Ia menyesalkan pendekatan negara yang seringkali menstigma seluruh ormas secara seragam, padahal banyak ormas seperti Mathla’ul Anwar dan LIRA telah memberi kontribusi nyata dalam pembangunan sosial, pendidikan, dan advokasi publik.
Andi mempertanyakan kehadiran Satgas Anti Premanisme yang dinilainya belum memiliki indikator keberhasilan yang terukur.
Ia mengingatkan agar pembentukan satgas tidak hanya menjadi respons reaktif terhadap peristiwa, tanpa peta jalan dan mekanisme evaluasi yang jelas.
“Apakah semua ormas harus terdaftar untuk diakui negara? Apa fungsi konkret Satgas ini di tengah menjamurnya satgas-satgas lain? Bagaimana publik bisa mengukur akuntabilitas mereka?” tanyanya kritis.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya sistem hukum yang seragam dan adil, serta mekanisme pengaduan publik yang terbuka dan aman. “Negara harus menjadi penjamin keadilan, bukan wasit yang berat sebelah,” ujarnya tegas.
*Menyoal Stigma dan Dualisme Ormas*
Andi Syafrani menyoroti bahwa dari 617.000 ormas yang terdaftar di Indonesia, banyak yang mengalami tumpang tindih kelembagaan, seperti dalam kasus dualisme PERADI atau KNPI. Struktur yang tidak jelas ini, menurutnya, memperburuk tata kelola organisasi kemasyarakatan dan memicu konflik horizontal yang kerap tidak diselesaikan secara adil.
“Kita sering terjebak dalam pluralisme kelembagaan tanpa arah. Ini bukan soal jumlah, tapi soal arah dan standar pembinaan,” ujarnya.
Ia mengkritik sistem perlakuan hukum yang diskriminatif. Beberapa ormas mendapat ruang politik, perlindungan, bahkan akses pendanaan, sementara yang lain distigmatisasi dan dicurigai tanpa alasan yang adil. “Keadilan tidak mengenal kasta ormas. Yang berkontribusi harus diapresiasi, bukan disingkirkan,” tambahnya.
*Refleksi Kritis dari Para Narasumber*
Narasumber lain turut memperkuat wacana kritis dalam webinar ini. Asep Rohmatullah menyoroti perlunya indikator keberhasilan yang konkret untuk menilai efektivitas Satgas Anti Premanisme. “Jangan sampai Satgas hanya jadi lip service, ramai di awal, senyap di akhir,” sindirnya.
Budi Arwan dari Kemendagri menguraikan landasan konstitusional dan hukum yang mengatur ormas, serta peran lintas sektor dalam pembinaan, termasuk Kemenag dan pemda. Ia menegaskan bahwa Satgas bukan hanya alat kontrol, melainkan katalis bagi ormas yang sehat dan produktif.
Muhamad Isnur dari YLBHI membawa perspektif HAM dan demokrasi, dengan mengkritisi premanisme sebagai relasi kekuasaan informal yang kerap dibiarkan negara. Ia mendorong agar istilah “badan hukum” dalam regulasi ormas diganti menjadi “terdaftar”, demi memudahkan proses legalitas dan pengawasan.
Sementara itu, Dr. H. Ali Nurdin menegaskan bahwa premanisme sudah berurat-akar dalam sejarah kekuasaan, bahkan sejak era kerajaan. Ia mengusulkan solusi rehabilitatif, seperti halnya Kolombia yang memberdayakan pelaku kekerasan melalui pelatihan dan akses ekonomi.
*Menuju Tata Kelola Ormas yang Berkeadilan*
Webinar ini menyimpulkan bahwa efektivitas Satgas Anti Premanisme harus ditopang oleh indikator keberhasilan yang terukur, bukan hanya gebrakan jangka pendek. Premanisme perlu dipahami sebagai gejala sosial, bukan semata kriminalitas, dan penanganannya harus menyentuh akar kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Regulasi ormas pun perlu disederhanakan agar lebih inklusif dan tidak diskriminatif. Pembinaan ormas harus melibatkan kementerian dan lembaga lintas sektor, serta membuka kanal partisipasi masyarakat.
Sebagai penutup, Andi Syafrani menegaskan bahwa ormas adalah bagian dari demokrasi, bukan ancaman. “Negara demokratis harus menjaga kebebasan berserikat dengan adil, dan memastikan bahwa ormas yang berkontribusi justru dirangkul, bukan distigma. Satgas yang efektif adalah yang memberi rasa aman, bukan rasa diawasi,” pungkasnya.
Pernyataan itu menjadi penegas penting bahwa di tengah dinamika masyarakat sipil yang kompleks, negara dituntut lebih arif, adil, dan reflektif dalam menata ulang relasinya dengan ormas. Jika dilakukan dengan pendekatan yang adil dan transparan, ormas akan menjadi mitra pembangunan, bukan sumber kegaduhan.