Liputanbanten.com, Jakarta, 6 Oktober 2024 – Sejumlah pakar hukum menyimpulkan bahwa Mardani Maming tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi atas kasus suap Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Hal ini diungkapkan para pakar hukum di dalam buku yang berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim Dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming,” yang diterbitkan oleh Center of Leadership and Law Development Studies (CSLD) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, bekerja sama dengan Penerbit Buku Rajawali (PT Raja Grafindo).
Buku ini diisi oleh Tim Eksamintaor yang terdiri dari 10 pakar hukum, serta sudah dilakukan bedah buku di EastParc Hotel Yogjakarta pada Sabtu (5/10/2024).
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran sekaligus pembuat Legal Opinion dan Amicus Curiae, Romli Atmasasmita mengatakan, kasus tersebut memiliki banyak kekeliruan dan salah satunya masalah moral.
“Jelas ada kekeliruan, kekhilafan, kalau saya menyebutnya ada delapan kekhilafan atau kekeliruan. Pertanyaan saya kalau delapan kekeliruan delapan itu masih bisa disebut kekeliruan atau kesesatan?. Kesesatan kalau menurut saya, udah di luar konteks norma, soal moral, ya kan. Kan tidak boleh zalim,” kata Romli saat ditemui usai acara Bedah Buku.
Pembuat Legal Opinion dan Amicus Curiae lainnya, yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Satoso mengatakan, hakim tidak lepas dari kemungkinan kekeliruan. Maka dari itu penting untuk mempertimbangkan eksaminasi yang dilakukan para pakar hukum.
“Para ahli hukum ini melakukan eksaminasi, ini suatu usaha yang sangat penting, kalangan akademis mengkritisi putusan pengadilan, penting kenapa, karena seperti juga alasan PK itu selalu ada kemungkinan namanya kekhilafan atau kekeliruan hakim, itu mungkin,” ujar Topo.
Tim Eksamintaor buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim Dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming,” terdiri dari:
-Ahli Hukum Perdata/Hukum Bisnis, Ridwan Khairandy
-Ahli Hukum Pidana, Mudzakkir
-Ahli Hukum Pidana, Hanafi Amrani
-Ahli Hukum Administrasi Negara, Ridwan
-Ahli Hukum Pidana dan Kriminologi, Eva Achjani Zulfa
-Ahli Hukum Pidana, Muhammad Arif Setiawan
-Ahli Hukum Keperdataan, Nurjihad
-Ahli Hukum Pidana dan Viktimologi, Mahrus Ali
-Ahli Hukum Perdata/Hukum Perusahaan, Dwi Nugrahati Putri
-Ahli Hukum Perdata/Hukum Perusahaan, Ratna Hartanto
Setelah melakukan kajian hukum atas putusan PN, PT dan Kasasi dalam perkara korupsi atas nama Mardani Maming, serta setelah dilakukannya bedah buku tersebut dapat disampaikan Kesimpulan sebagai berikut:
- Terpidana Mardani Maming (MM) tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan penuntut umum. Putusan Majelis Hakim tingkat Pertama, Banding dan Kasasi dibangun dengan konstruksi hukum berdasarkan asumsi dan imajinasi saja karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum serta tidak berbasis evidence/bukti yang tersampaikan dimuka persidangan.
- Dakwaan/tuntutan terhadap terdakwa tampak terlalu dipaksakan karena fakta yang terungkap dalam persidangan tidak dilandasi bukti yang cukup bahwa terdakwa Mardani H Maming secara nyata penerimaan-penerimaan uang yang disangkakan kepada Terpidana ternyata adalah tagihan-tagihan perusahaan yang didasari atas perjanjian kerjasama sebagaimana putusan pengadilan Niaga yang telah inkrach.
- Dakwaan yang dibangun adalah Pasal Suap, namun si pemberi suap tidak pernah diperiksa baik tingkat penyidikan sampai persidangan. Karena tidak dapat dibuktikan meeting of mind (kesepakatan pembicaraan) antara pemberi suap Alm Hendry Setio kepada dan Terpidana Mardani H. Maming yang disangkakan kepada Terpidana maka kemudian Penuntut Umum menyatakan adanya “kesepakatan diam-diam” yang secara hukum tidak dikenal dalam ilmu hukum pidana.
- Pasal 93 UU Pertambangan adresat larangan untuk mengalihkan itu adalah untuk pemilik IUP OP bukan pada Pejabat, SK pelimpahan IUP OP yang di tanda tangani oleh Terpidana sebagai Bupati Tanah Bumbu adalah sesuai kewenangannya dan IUP OP tersebut sudah terlisensi Clear and Clean dengan kata lain IUP OP itu tidak memiliki masalah hukum dan sudah memenuhi syarat administrasi.
- Dapat dikemukakan bahwa, penuntut menghadapi kesulitan secara teknis hukum pembuktian bahwa telah terjadi pemberian hadiah kepada terdakwa karena terdakwa telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya (menurut UU Pemerintahan Daerah dan UU Pertambangan).
- Terdakwa dalam jabatan Bupati, atas delegasi wewenang dari Menteri Dalam Negeri berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan mengeluarkan izin dalam hal permohonan IUP dan tentu izin diberikan disebabkan adanya permohonan dari pemohon dan juga telah dilaporkan kepada Menteri dalam urusan pertambangan; suatu kewajiban yang lazim dilakukan dalam sistem birokrasi.
- Sekalipun quod non telah terbukti terdapat pelanggaran atas UU sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan, akan tetapi keduabelas peraturan perUUan tersebut, adalah termasuk rumpun hukum Pidana Administrative sehingga tidak tepat secara hukum penerapan UU Tipikor terhadap pelanggaran administrative karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor.
- Poin 7 di atas diperkuat dengan Penafsiran ketentuan Pasal 14 UU Tipikor, baik penafsiran Historis, sistematis-logis maupun penafsiran telelologis, ketentuan Pasal 14 UU Tipikor, bertujuan membatasi penafsiran hukum yang sangat luas di dalam penerapan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
- Putusan Kasasi dalam perkara tipikor atas nama Mardani H. Maming secara kasat mata telah mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dan telah memenuhi alasan PK yaitu adanya keadaan baru yang diketahui akan tetapi tidak pernah disampaikan dalam pertimbangan putusan PN, PT,dan Kasasi sehingga putusan Kasasi seharusnya menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya hukuman terdakwa dikurangi.##