Musyawarah Soal Jalan Yang Ditutup Berujung Kisruh, Tak Ada Titik Temu

Liputanbanten. Com//Tangerang – Upaya mediasi warga terkait sengketa jalan di Kampung Pejamuran RT 001/00, Desa Pasilian, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang kembali berakhir ricuh. Pertemuan yang digelar pada Senin malam, 9 Juni 2025, pukul 20.30 WIB itu tak menghasilkan kesepakatan, bahkan berujung adu mulut dan ketegangan antar pihak.
Dalam forum tersebut, hadir Taufik, warga Desa Pasilian yang disebut sebagai pembeli rumah yang bersengketa atas akses jalan gang. Ia datang bersama seorang perempuan bernama Ani, yang mengaku sebagai perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan ahli hukum.
Namun sejak awal, tensi sudah terasa tinggi. Saat beberapa peserta musyawarah, termasuk wartawan, menanyakan asal LBH yang dimaksud, Ani enggan menjawab secara jelas.
“Anda tidak punya hak dan tidak punya kepentingan untuk tahu,” ujarnya singkat dengan nada tinggi.
Sebelumnya, Ani sempat menyampaikan kritik terhadap pemberitaan media lokal terkait kasus penutupan jalan tersebut. Ia menyatakan seharusnya wartawan melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkutan. “Biar profesional, mestinya konfirmasi dulu kepada saya sebelum memberitakan,” ucapnya.
Ani juga mengatakan sebagai mantu tidak punya hak secara hukum untuk berbicara karena yang punya kewenangan anaknya.
” Bapak sebaiknya diam tidak usah bicara karena sebagai mantu tidak punya hak secara hukum,” jelasnya membungkam.
Pernyataan itu justru menambah ketegangan. Beberapa warga mempertanyakan motif dan kapasitas Eni dalam forum musyawarah tersebut.
Situasi semakin tidak kondusif ketika Asror yang pekan lalu menutup jalan dengan alasan hak waris tiba-tiba bereaksi keras.
“Asror mendadak emosi, mencak-mencak sambil membentak dan mengucapkan kata-kata bernada ancaman,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya. “Suasananya seperti orang kesurupan. Orang-orang sampai terdiam.”
Melihat situasi tak terkendali, musyawarah akhirnya dibubarkan tanpa ada keputusan atau titik temu.
Ketegangan Berkepanjangan
Ini adalah insiden kesekian kali dari konflik jalan yang ditutup secara sepihak oleh pihak yang mengklaim sebagai ahli waris. Sebelumnya, penutupan dilakukan Asror karena merasa tanah gang tersebut merupakan bagian dari hak waris keluarga almarhum Haji Tabrani. Sementara di sisi lain, keluarga almarhum Dimyati yang menyumbangkan sebagian tanah sebagai jalan umum menolak keras pengalihfungsian tersebut.
Ketua RT dan RW setempat telah berulang kali menginisiasi musyawarah, namun belum ada hasil konkret. Pihak Pemerintah Desa Pasilian pun hingga kini belum memberikan pernyataan resmi soal status kepemilikan lahan tersebut, termasuk dugaan keterlibatan oknum staf desa yang sempat mencuat.
Warga sekitar yang terdampak berharap ada langkah hukum atau mediasi formal dengan pendampingan pihak berwenang agar akses jalan umum kembali terbuka dan konflik tidak meluas.
Sekedar untuk diketahui, Secara hukum di Indonesia, tidak ada pasal yang melarang menantu untuk berbicara atau membela keluarga mertuanya justru dalam konteks hak asasi dan peran sosial, menantu memiliki dasar hukum dan moral untuk melindungi atau membela pihak keluarga, termasuk mertua, apalagi dalam situasi pelecehan atau perampasan hak.
Berikut adalah dasar-dasar hukum dan logis yang memperkuat hak menantu untuk bersuara dan membela:
1. Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
➡️ Artinya: Menantu sebagai warga negara berhak menyuarakan pendapat dan membela pihak mana pun, termasuk mertuanya, jika ada ketidakadilan.
2. Hukum Perdata – Kuasa dan Pembelaan
Jika menantu diberi kuasa lisan atau tertulis, ia secara sah dapat: Mewakili keluarga dalam urusan hukum. Mengajukan keberatan atau pengaduan atas nama keluarga. Bertindak sebagai saksi, pelapor, atau pendamping hukum.
➡️ Tidak ada batasan bahwa hanya anak kandung yang boleh membela atau bicara. Yang penting adalah hak/kepentingan sah yang ingin dilindungi dan cara yang sesuai hukum.
Seorang menantu punya hak bicara dan membela ketika harga diri atau hak keluarga mertuanya dilecehkan, terutama jika ia melakukannya dengan penuh hormat dan dalam koridor etika.
Seorang menantu tidak hanya boleh, tapi bahkan patut bersuara jika keluarga mertua mengalami ketidakadilan, selama niat dan caranya benar. Membela kehormatan keluarga, termasuk mertua, adalah bentuk integritas dan rasa hormat selama tidak menimbulkan konflik baru atau menyalahi batas yang tidak perlu. (Redaksi)