Oknum Anggota Polisi Polsek Cinangka HS diduga Perkosa Mahasiawi di Serang
Liputanbanten.com//Serang,– Miris Seorang gadis mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kabupaten Serang, Mawar berusia 18 Tahun, Warga Kabupaten Serang mengaku menjadi korban tindakan asusila yang diduga dilakukan oleh seorang anggota polisi berinisial HS, yang bertugas di Polsek Cinangka, Polres Cilegon.
Peristiwa itu bermula ketika Mawar berkunjung ke Polres Cilegon untuk mengambil BPKB motor miliknya, sekitar bulan Juli 2025.
Setelah urusannya selesai, Mawar bermaksud pulang. Namun, di pos jaga pintu masuk Polres Cilegon, ia bertemu dengan HS yang saat itu sedang berjaga.
“HS minta nomor HP saya. Karena saya pikir tidak ada apa-apa, saya kasih,” ujar Mawar
Kemudian, Mawar dan HS mulai berkomunikasi melalui pesan WhatsApp. HS kemudian mengajak Mawar untuk jalan-jalan dan makan di sebuah villa kawasan Laut Biru, Anyer, Pada Tanggal 16 Juli 2025. “Dia bilang cuma mau makan dan jalan-jalan saja,” Terang Mawar.
Namun, sesampainya di lokasi, HS mengajak Mawar untuk menginap di villa tersebut. HS beralasan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas karena di villa itu terdapat dua kamar tidur.
“Dia bilang tidak akan berbuat macam-macam, karena katanya di situ ada dua kamar. Saya percaya saja,” kata Mawar.
Mawar menuturkan, setelah masuk ke kamar masing-masing, HS kemudian secara diam-diam masuk ke kamarnya. “Dia tiba-tiba masuk, memeluk saya, dan melakukan hal yang tidak saya inginkan,” ungkap Mawar dengan suara bergetar.
Mawar mengaku tidak bisa melawan karena takut. “Saya takut, karena dia sempat mengeluarkan senjata api dan meletakkannya di kasur,” ujarnya.
Mawar telah melaporkan HS ke Bidang Propam Polres Cilegon untuk ditindaklanjuti pada tanggal 6 Oktober 2025. “Saya sudah lapor ke Propam Polres Cilegon,” Ucap Mawar
Namun hingga berita ini diterbitkan, pihak korban masih belum ada kejelasan kapan penanganan kasusnya di tindak lanjuti oleh Propam Polres Cilegon terkait laporan tersebut.
Korban telah melakukan pelaporan ke Propam sejak 6 Oktober 2025 namun belum ditindaklanjuti menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada mekanisme perlindungan korban yang benar-benar berjalan? Ataukah ada budaya tutup mata terhadap pelanggaran internal? Ketiadaan transparansi dalam penanganan kasus ini bisa menjadi indikator lemahnya sistem pengawasan internal. Ini juga mencerminkan bagaimana institusi sering kali gagal memberikan rasa aman kepada korban,setelah mereka berani melapor.
(Red)
