Liputanbanten.com//Serang – Mungkin kita tidak asing saat berkendara melihat banyak truk yang parkir di sepanjang bahu jalan hingga trotoar, tapi pernahkah kita coba memahami dari sudut pandang mereka? Tekanan waktu, dan kebutuhan ekonomi seringkali memaksa mereka mengambil jalan pintas. Ini bukan pembenaran, tapi ajakan untuk lebih berempati. Pemahaman sosial yang kurang membuat mereka lupa sehingga bahu jalan dan trotoar yang seharusnya dipakai pejalan kaki disulap menjadi lahan parkir kendaraan. Mari bangun kesadaran bersama, bahwa ketertiban dan keselamatan adalah tanggung jawab kita bersama.
Parkir kendaraan di bahu jalan merupakan suatu cerminan dari egoisme dan kurangnya tanggung jawab sosial. Kita terlalu fokus pada kepentingan pribadi, tanpa peduli terhadap peruntukannya yaitu pejalan kaki selalu pengguna sejati. Para sopir mungkin berpikir, “Yang penting saya bisa istirahat”, tanpa memikirkan pejalan kaki yang akan lewat dan risiko kecelakaan atau kemacetan yang mereka timbulkan. Pemerintah juga seringkali abai, tidak menindak aturan pendirian bangunan khususnya di jalan utama yaitu menyediakan fasilitas yang memadai atau menegakkan aturan dengan tegas. Ini adalah masalah mentalitas, masalah kurangnya kesadaran bahwa kita adalah bagian dari sebuah komunitas.
– *Pelanggaran norma sosial*: Masyarakat memiliki norma dan nilai yang mengatur perilaku individu. Kurangnya pemahaman sosial membuat sebagian orang tidak menghargai norma tentang penggunaan jalan yang harusnya menjadi ruang untuk mobilitas bersama, sehingga mereka parkir sembarangan di bahu jalan.
– *Kurangnya interaksi dan empati sosial*: Menekankan pentingnya interaksi sosial dalam memelihara keseimbangan masyarakat. Ketika seseorang parkir di bahu jalan, ia seringkali tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan kepada sesama pengguna jalan, seperti menyebabkan kemacetan atau menghambat aksesibilitas pejalan kaki. Hal ini menunjukkan kurangnya empati dan interaksi sosial yang baik.
– *Ketidaksesuaian dengan perubahan sosial*: Perubahan sosial dan bagaimana masyarakat harus menyesuaikannya. Dengan makin banyaknya pertumbuhan jumlah kendaraan dan perkembangan kota, kebutuhan akan tempat parkir yang memadai semakin meningkat. Namun, sebagian orang belum mampu menyesuaikan perilaku mereka dengan perubahan ini, sehingga masih parkir sembarangan di bahu jalan.
Analisis di atas merupakan interpretasi dari teori Selo Soemardjan yang diterapkan pada masalah parkir di bahu jalan. Seperti terlihat pada gambar, adanya kendaraan truk jenis boks terparkir di bahu jalan di Jl. Raya Serang – Jakarta sedang menurunkan muatan, apakah itu kebiasaan atau memang prilaku seseorang yang sudah menjadi kebiasaan yang menganggap prilaku tersebut benar. Masalah parkir kendaraan di bahu jalan ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor lain seperti keterbatasan lahan parkir yang disediakan, lemahnya penegakan hukum, dan kebijakan pemerintah.
Solusi untuk masalah parkir kendaraan di bahu jalan bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga edukasi dan sosialisasi. Kita perlu menanamkan nilai-nilai kesadaran sosial sejak dini, mengajarkan pentingnya menghormati hak orang lain dan mematuhi aturan. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil bisa mengadakan kampanye edukasi yang kreatif dan menarik, melibatkan para sopir truk, pengusaha, dan masyarakat umum. Dengan pemahaman sosial yang lebih baik, kita bisa menciptakan budaya tertib dan bertanggung jawab di jalan raya.
Penulis: Edi Mulyadi

